Awal dari Sebuah Rasa

Namaku Ratih. Umurku baru sembilan belas. Banyak orang bilang aku masih muda, masih punya masa depan panjang. Tapi dari kecil, aku gak pernah ngerasain yang namanya rumah. Orang tuaku meninggal waktu aku masih bayi, katanya kecelakaan. Sejak itu, hidupku pindah-pindah dari satu panti asuhan ke panti lainnya.

Sekarang, aku udah lulus SMA. Punya ijazah doang nggak cukup, aku butuh kerja buat hidup. Makanya aku bersyukur banget waktu dapet kerja di sebuah konterr HP kecil di pinggiran kota. Pemiliknya, Pak Arman, pria paruh baya umur 42 tahun—tingginya sekitar 175 cm, kulit agak gelap, dan selalu pake baju rapi. Wajahnya jarang senyum, tapi tatapannya dalam dan… entahlah, kadang bikin aku gugup sendiri.

“Kerja aja yang bener, gak usah neko-neko. Aku gak suka anak manja,” katanya waktu pertama kali nerima aku kerja.
Aku cuma angguk-angguk. Aku emang bukan anak manja.

Konterr itu kecil tapi ramai. Aku biasa datang jam 9 pagi, pulang jam 6 sore. Kadang kalau lagi ramai, bisa lebih malam. Tapi aku gak pernah ngeluh. Aku udah terbiasa hidup susah. Dibentak pun aku gak nangis, udah sering dulu waktu di panti.

Pak Arman kadang terlihat galak, tapi sering juga diam-diam perhatiin aku dari balik rak. Kalau aku lagi beresin etalase, dia berdiri di belakang, nyodorin barang tanpa ngomong apa-apa. Dingin. Tapi makin lama, ada yang aneh aku rasain. Perhatiannya pelan-pelan bikin aku nyaman. Bukan nyaman seperti ayah ke anak, tapi… ada sesuatu yang aku gak bisa jelasin.

Suatu malam, konterr sepi. Jam hampir jam 8. Hujan turun dari sore, deras banget. Aku udah siap mau pulang, tapi gak bawa payung.

“Kamu gak bawa mantel?” tanya Pak Arman.

Aku geleng. “Gak sempet ambil di kos.”

Dia ngelirik keluar, lalu bilang, “Tunggu aja di dalam. Hujannya masih deras.”

Aku duduk lagi di kursi plastik, diem. Dia ikut duduk, tapi di meja kasir, sambil buka-buka pembukuan. Tapi gak lama, dia matiin lampu display, lalu ke belakang dan balik bawa dua gelas teh hangat.

“Minum. Biar gak masuk angin.”

Aku ambil pelan. “Makasih, Pak.”

Dia duduk agak dekat kali ini. Udara dingin, teh itu hangat, tapi ada yang lebih hangat: suasana.
“Kamu tinggal sendirian di kos?” tanyanya pelan.
“Iya.”
“Keluarga?”
“Gak punya, Pak. Saya dari kecil di panti.”

Dia mengangguk pelan. Tapi matanya gak lepas dari wajahku. Aku nunduk. Jantungku deg-degan sendiri, bukan karena teh atau hujan. Tapi karena untuk pertama kalinya, aku sadar: tatapannya beda.

Lalu dia angkat tanganku. Tangannya besar, kasar, hangat. Dia cuma megang sebentar. Tapi waktu dia bilang, “Kamu kuat ya… anak sekuat ini jarang,” rasanya kayak ada yang meleleh di dadaku.

Aku gak tahu kenapa. Tapi malam itu, aku ngerasa seperti… mau nurut apapun kalau dia yang nyuruh.

Malam itu jadi awal dari sesuatu yang beda. Aku gak ngerti perasaan ini—aneh, asing, tapi gak bikin takut. Setelah dia genggam tanganku, suasana hening. Cuma suara hujan yang deras di luar. Tapi di dalam, rasanya… hangat, deg-degan.

Tangannya lepas pelan. Tapi tatapannya masih di aku.

“Ratih,” katanya pelan, “kalau kamu capek, atau butuh tempat pulang… kamu bisa ke sini. Aku ngerti kamu gak punya siapa-siapa.”

Aku angguk pelan. Aku nunduk. Tapi dalam hati, kalimat itu kayak nyangkut di tenggorokan. Kayak aku pengen nangis. Selama ini, gak ada yang bilang gitu ke aku. Semua orang cuma nyuruh aku kuat. Tapi dia… beda.

Beberapa hari setelah itu, aku jadi lebih sering diperhatikan. Kadang dia bawain aku sarapan, kadang nyuruh aku istirahat duluan. Tapi tatapannya makin lama makin sering bikin aku salah tingkah. Tatapan tajam yang pelan-pelan jadi kayak ngelus tubuhku dari jauh.

Dan anehnya, aku gak nolak.

Suatu sore, konterr sepi banget. Dia lagi duduk ngerokok di belakang. Aku beresin barang di rak. Waktu aku jongkok di lantai, nyusun dus-dus HP, dia dateng dan berdiri di belakangku.

“Pelan-pelan, baju kamu kebuka,” katanya pelan.

Aku kaget, langsung berdiri dan nutup dada. Tapi dia senyum dikit. “Gak apa. Cantik kok.”

Aku gak bisa jawab. Pipi panas. Tapi aku juga gak pergi. Aku diam aja, sementara dia mendekat.

Tangan besarnya menyentuh rambutku. Lalu turun ke pipi. Aku diam. Aku ngerasa jantungku kayak mau copot.

“Kamu pernah ngerasain disayang gak?” bisiknya.

Aku geleng.
“Dipeluk?”
Geleng lagi.

Dia menarik aku pelan, masuk ke pelukannya. Gak erat, tapi cukup buat ngebuat aku leleh. Untuk pertama kali dalam hidupku… aku dipeluk oleh orang yang bukan pengasuh panti, bukan temen sekamar. Tapi… lelaki.

Dan entah kenapa, aku gak nolak.

Pelukannya gak buru-buru. Tangannya gak langsung nakal. Tapi aku bisa ngerasain napasnya di leherku. Hangat. Dan aku… gak bisa bohong, memek-ku mulai geli. Basah.

“Ratih…”
“Iya, Pak…”
“Boleh aku peluk kamu lebih lama?”

Aku angguk. Dan pelukannya jadi lebih erat.

Tangannya mulai naik turun di punggungku. Kadang berhenti di pinggang. Lalu dia mundur sedikit, menatap mataku.

“Boleh aku cium kamu?” bisiknya.

Aku gak jawab. Tapi aku juga gak pergi. Jadi dia cium. Bibirnya kasar, tapi gerakannya lembut. Dan jujur, aku gak pengen itu berhenti.

Tangannya naik ke gunung cintaku, meremas pelan. Aku mendesah kecil. Itu pertama kalinya payudaraku disentuh laki-laki. Tapi aku gak nolak. Malah pelukannya aku eratkan.

“Masih bisa lanjut?” bisiknya.

Aku mengangguk lagi.
“Aku bisa berhenti kalau kamu mau.”
“Nggak usah berhenti…”

Tangannya turun ke bawah. Ke pahaku. Lalu masuk ke balik rokku. Jemarinya menyentuh memek-ku yang udah basah banget.

“Ratih… kamu siap ya?”
Aku cuma menutup mata dan mengangguk pelan. Napasku cepat. Aku udah gak tahan.

Jemarinya mulai main. Gak kasar, tapi penuh pengalaman. Aku megap-megap. Gak pernah aku ngerasain kayak gini. Memek-ku basah banget, dan dia tahu titik-titik mana yang bikin aku gemetar.

Aku menggigit bibir. “Pak… aku… aku gak tahan…”

“Tenang. Nikmatin aja…”

Tangannya gak berhenti mainin memek-ku. Jemari Pak Arman lincah, penuh pengalaman. Aku berdiri gemetar sambil bersandar ke dinding belakang konterr. Rokku udah melorot ke lutut, dan memek-ku basah banget, sampai celana dalamku lengket kayak tisu kena teh.

Desahanku makin berat.

“Pak… uuhh… jangan berhenti…”

“Pelan, Ratih… rasain semua…”

Dia jongkok di depanku. Wajahnya sekarang sejajar dengan pangkal pahaku. Aku berusaha jaga suara, takut ada orang lewat depan konterr, tapi aku gak bisa nahan. Jemarinya nyibak celana dalamku, dan lidahnya langsung ngelelet ke memek-ku yang udah licin.

Aku terlonjak. “Aaahh… Pak… itu… memek-ku…”

“Manis banget,” katanya, sebelum kembali jilat memek tanpa henti.

Lidahnya muter, masuk ke sela memek, naik turun, kadang ke titik paling sensitif yang bikin lututku goyah. Aku gak pernah tahu ternyata tubuhku bisa begini. Aku cuma bisa pegangan ke rak etalase sambil nangis kecil. Bukan karena sakit. Tapi karena terlalu enak.

“Pak… Pak… aku mau… mau crott…”

“Crott di memek gak papa. Aku pengen rasain semua dari kamu.”

Tangannya gak berhenti sambil dia jilmek. Jemarinya masuk ke dalam, lidahnya main di luar. Aku gak bisa tahan lagi.

“AAHH… Aku… aku crott…”

Tubuhku gemetar hebat. Cairan hangat keluar dari memek-ku, dan Pak Arman cuma diem sambil senyum.

“Kamu enak banget, Ratih. Memek kamu lembut… wangi…”

Aku masih gemetar waktu dia bangkit berdiri. Tangannya ngelepas sabuk, dan kontol-nya keluar.

Itu pertama kalinya aku lihat barang asli laki-laki. Besar, tegang, berurat. Aku sempat mundur, takut. Tapi dia cuma nyentuh rambutku pelan.

“Coba, Ratih. Kamu pasti bisa. Nyusu kontol gak susah…”

Aku menelan ludah, lalu berlutut. Tangan gemetar waktu nyentuh kontol-nya. Panas. Berdenyut.

Aku buka bibir, dan pelan-pelan masukin ujung kontol itu ke mulutku. Rasa asin, agak pahit, tapi hangat. Aku mulai gerak pelan-pelan. Naik turun.

“Bagus… kamu pintar…” katanya sambil elus kepalaku.

Aku makin dalam. Makin cepat. Suara nyusu kontol dari mulutku mulai makin kencang, basah dan berisik.

“Ratih… aku mau crott… di mulut kamu…”

Aku gak mundur. Malah aku pengen ngerasain. Dan gak lama kemudian, cairan hangat menyemprot dari ujung kontol-nya. Sperma crott di lidahku, banyak banget sampai aku nyaris keselek.

Tapi aku telan. Semuanya. Karena malam itu, aku bukan cuma jadi karyawan konterr. Aku jadi milik Pak Arman.

Aku gak nyangka hidupku yang hampa dari kecil bakal berubah secepat ini. Gak ada cinta yang romantis. Gak ada janji indah. Tapi aku rela. Mungkin karena aku gak pernah tahu rasanya dimiliki. Dan sekarang… aku jadi milik seseorang. Utuh. Bahkan seluruh tubuhku pun.

🔞 Cerita ini masih berlanjut…
Klik untuk lanjut ke cerita dewasa lainnya 👉 Cerita Dewasa Terbaru & Terpanas

Sejak malam itu, semuanya berubah.

Aku tetap kerja seperti biasa, buka konterr jam sembilan, nutup jam enam. Tapi setiap kali konterr sepi, atau malam tiba, Pak Arman sering manggil aku ke ruang belakang. Ruangan kecil tempat dia simpan stok barang… dan sekarang juga tempat dia mainin aku.

Awalnya aku masih malu, masih gemetaran waktu dia buka bajuku. Tapi makin hari, tubuhku belajar sendiri. Belajar ngerespon sentuhan, ngerespon bisikan di telinga, dan… nyariin kontol dia.

“Ayo, Ratih. Duduk di kursi itu, angkat rokmu…”

Aku patuh. Aku selalu patuh. Entah kenapa, aku merasa aman meski dia keras. Mungkin karena aku gak pernah punya orang yang ngatur aku seperti ini. Gak ada yang punya hak atas tubuhku… sampai akhirnya dia datang.

Dia berdiri di depanku, sambil buka celana pelan. Kontol-nya udah keras sejak tadi. Aku buka mulut, siap nyusuin, tapi dia geleng.

“Sekarang, kamu duduk di meja. Kangkang. Aku mau memek kamu dulu.”

Aku nurut. Naik ke atas meja stok. Aku buka dalemanku sendiri. Duduk sambil memek ngangkang di depan dia.

Dia jongkok. Jilat memek-ku sambil sesekali masukin dua jarinya. Aku udah gak tahan, memek-ku becek banget. Suaranya sampe pletak-pletok, kayak tahu basah diaduk sendok.

“Memek kamu makin enak tiap hari,” katanya.

Aku cuma bisa mendesah. “Aahh… Pak… crott lagi…”

Aku crott untuk kedua kalinya siang itu.

Lalu dia berdiri. Angkat kedua kakiku ke bahunya, dan masukin kontol-nya ke dalam memek-ku.

Plak plak plak.

Aku menjerit pelan. Badanku goyang kena dorongannya. Dia masukin pelan dulu, tapi makin lama makin cepat.

“Aaahh… Pak… dalem banget…”

“Terima semuanya, Ratih. Ini milikmu juga.”

Tangannya neken perutku, ngerasa ujung kontol-nya sampai dalam. Memek-ku mulai keram, tapi rasanya nikmat. Setiap goyangan kayak bikin tubuhku meledak kecil-kecilan.

Dia ubah posisi. Aku disuruh tengkurap di atas kursi, dan dia masuk dari belakang, gaya anjing.

“Posisi ini enak, Ratih. Kamu harus biasa…”

Aku angguk. Suaraku cuma desahan.

Kontol-nya masuk makin dalam. Tiap dorongan bikin punggungku melengkung. Aku sesekali nengok ke belakang, dan pemandangan dia dengan tubuh besar, pegang pinggulku, sambil tabrak memek-ku… bikin aku tambah liar.

“Pak… crott… aku crott lagi…”

“Aku juga, Ratih…”

Dia tarik pelan, lalu tumpahin sperma di punggungku, panas dan banyak. Sebagian muncrat sampai ke leherku.

Aku rebah, lemas. Napas ngos-ngosan. Tapi hatiku… penuh.

Dia peluk dari belakang. “Kamu sekarang… milikku, Ratih.”

“Iya, Pak… memek ini cuma buat Bapak…”

Dan memang begitu adanya.

🔞 Cerita ini bagian dari serial cerita dewasa Ratih dan Pak Arman.
📚 Baca koleksi lainnya di sini 👉 Cerita Dewasa Terbaru & Terpanas

Sudah hampir dua bulan sejak malam pertama itu. Sekarang, aku bukan lagi Ratih si anak yatim yang cuma kerja di konterr HP. Aku adalah… milik Pak Arman.
Bukan cuma secara pekerjaan. Tapi tubuhku, memek-ku, hatiku, semua udah jadi milik dia.

Awalnya aku pikir ini cuma sementara. Tapi sekarang, tiap malam aku malah nungguin pesan darinya. Kadang sebelum tidur, aku buka chat cuma buat berharap dia nanya:

“Kamu udah mandi? Siap aku susui kontol malam ini?”

Dan aku pasti jawab:

“Memek udah bersih dan basah, Pak…”

Hubungan kami makin dalam. Sekarang aku gak perlu nunggu dia ngajak duluan. Aku yang mulai. Kadang pas konterr rame, aku bisikin di telinganya:

“Nanti malam aku minta disusuin kontol ya, Pak…”

Dan dia cuma senyum kecil. Tapi malamnya? Dia mainin aku sampai tiga ronde. Memek-ku disetel bolak-balik. Mulutku penuh kontol. Leher, dada, bahkan punggungku sering jadi tempat crott sperma.

Pernah suatu malam, aku yang minta dijilmek dulu. Aku rebahin diri sendiri di lantai gudang kontol, dan buka dalemanku sambil bilang:

“Jilat memek-ku sampai aku crott, baru aku kasih Bapak masuk.”

Dan dia menurut. Mungkin karena dia tahu: Ratih udah berubah. Aku bukan gadis pemalu yang dulu.

Sekarang, setiap kali aku liat wajahku di cermin, aku tahu… aku bukan gadis polos. Aku bukan anak panti tanpa arah. Aku adalah wanita dewasa.
Dan aku punya satu orang yang buat aku jadi seperti ini: Pak Arman. Lelaki paruh baya yang ngajarin aku apa itu rasa milik, rasa nikmat, dan rasa disayangi.

Dia bukan suami. Tapi dia lebih dari itu.

Dan aku yakin, ini belum akhir cerita kami. Karena tiap malam, tubuhku terus minta, terus haus, terus basah.

Aku duduk di meja kasir seperti biasa, pakai kaus putih ketat dan rok pendek. Tapi sekarang… bukan cuma jadi karyawan. Aku adalah barang pribadi milik Pak Arman.

Dia udah bilang sendiri, langsung ke mataku, waktu kami di gudang belakang dua minggu lalu. “Kamu bukan sekadar anak konterr. Kamu milikku. Tapi aku gak mau punya anak dari kamu. Kamu hanya untuk dinikmati… dipakai, dirawat, tapi gak perlu diisi.”

Kalimat itu aneh. Tapi anehnya lagi… aku nerima.

Entah kenapa, aku gak merasa direndahkan. Justru aku ngerasa spesial. Kayak… aku ini benda berharga. Bukan buat disia-siain. Tapi buat disimpan dan dihabiskan dengan nikmat, tanpa sisa.

Dan sekarang, aku udah terbiasa. Dipanggil ke gudang siang hari buat nyusuin kontol. Disuruh pakai lingerie tipis dalam lemari belakang. Kadang aku cuma berdiri aja, memek dibuka, dan dia hisap puting sambil kerjain laporan stok.

Aku udah terbiasa kayak gitu.

Tapi hari ini beda.

Pagi tadi, Pak Arman nyuruh aku mandi lebih awal. Disuruh pake parfum yang dia pilih sendiri—bau vanilla lembut, yang katanya “bikin memek kamu makin mengundang.”

“Ada tamu siang ini. Pelanggan lama. Dia suka HP, tapi suka yang lain juga…”

Aku diem aja waktu dia bilang gitu. Tapi aku tahu arah ucapannya. Ini bukan cuma soal jualan HP.

Dan bener aja. Jam setengah dua, datang pria umur 50-an. Gendut, berkacamata, bawa map. Pakai batik longgar dan kalung akik besar. Namanya Pak Dirman. Dulu katanya pemilik toko elektronik yang langganan beli stok di konterr ini.

Waktu pertama lihat aku, matanya langsung nyasar ke dada. Aku senyum sopan, tapi aku tahu dia udah ngiler.

“Nah, ini Ratih,” kata Pak Arman sambil tepuk pundakku. “Bisa bantu kamu… dengan cara lain.”

Aku diem. Tapi gak protes. Karena aku tahu peran baruku sekarang.

Kami bertiga duduk di ruang belakang. Pak Dirman mulai ngobrol soal stok HP, tapi matanya terus curi pandang ke pahaku. Aku pura-pura gak tahu, padahal aku duduk dengan sengaja agak ngangkang.

Setelah tanda tangan dan semua urusan selesai, Pak Arman ngomong pelan ke dia.

“Mau tambah bonus, Pak? Yang satu ini manis banget. Nurut total.”

Pak Dirman ngangguk cepat. Matanya berbinar.

Pak Arman cuma senyum dan ngangguk ke aku.

Aku paham maksudnya.

Aku berdiri, pelan-pelan buka kancing atas baju. Pak Dirman mendekat, tangannya langsung ngeremas gunung cintaku tanpa izin. Tapi aku diam. Gak melawan. Aku biarkan dia ngelakuin apa aja yang dia mau.

“Masya Allah… memek-nya lembut banget,” desahnya.

Aku melirik Pak Arman. Dia duduk sambil ngopi, senyum tipis. Dan aku tahu… ini bentuk pembuktianku. Kalau aku udah jadi milik dia seutuhnya—bahkan kalau tubuhku dipinjamkan ke orang lain… aku akan tetap nurut.

Setelah itu, aku mulai lebih sering dipanggil untuk menemani tamu-tamu Pak Arman. Kadang aku disuruh duduk di pangkuan mereka, kadang hanya sekadar menemani sambil nyusu kontol pelan-pelan di balik meja. Aku gak pernah merasa benar-benar bebas, tapi anehnya, aku juga gak pernah merasa terpaksa.

Pak Dirman itu salah satu pelanggan setia yang sering mampir. Awalnya aku takut, tapi lama-lama aku belajar bagaimana caranya membuat dia senang tanpa harus melawan. Aku belajar membuka rok dan membiarkan tangannya menyusuri pahaku, menyentuh memek yang sudah basah oleh keinginanku sendiri.

Dia suka kalau aku pasang ekspresi malu dan senyum manis saat dia mulai main memek. Suaraku pelan, hampir seperti desahan, tapi aku tahu itu yang mereka inginkan. Pak Arman selalu berdiri di samping, memperhatikan dengan tatapan dingin tapi penuh kontrol.

“Ratih, jangan lupa senyum. Ini pekerjaan juga,” katanya suatu kali.

Aku tahu aku harus nurut. Aku juga tahu aku gak punya pilihan lain. Tapi aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh di dalam diriku. Aku bukan cuma melayani, aku seperti berubah menjadi seseorang yang mencari nikmat dalam kepatuhan.

Sore itu, Pak Dirman menarikku ke ruang kecil di belakang. Lampu remang, bau parfum vanilla bercampur keringat. Aku duduk di kursi kayu, rok dan dalaman sudah aku buka perlahan.

Tangannya langsung menyentuh gunung cintaku, meremas lembut. Aku mendesah pelan. Lalu dia membisikkan sesuatu di telingaku.

“Kamu anak baik, Ratih. Nanti aku traktir kamu makan di luar.”

Aku tersenyum walau dalam hati aku merasa kosong. Tapi aku tetap melayani, membiarkan dia nyusu kontol dan bermain dengan tubuhku.

Pak Arman yang berdiri di pintu hanya tersenyum tipis. Dia tidak perlu ikut campur. Ini bagian dari kesepakatan kami—aku milik dia, tapi kadang juga milik tamunya.

🔞 Cerita ini berlanjut…
Ratih semakin dalam terlibat, tapi hatinya masih milik Pak Arman.
💾 Bookmark halaman ini untuk terus update kisah Ratih.
📚 Baca cerita dewasa lainnya 👉 Cerita Dewasa Terbaru & Terpanas

Hari-hari berlalu dan aku semakin terbiasa dengan peran baruku. Kadang aku sendiri yang meminta, bahkan aku mulai mencari-cari kesempatan untuk melayani tamu Pak Arman, meskipun hatiku tahu bahwa aku tetap milik Pak Arman.

Sore itu, Pak Arman memanggilku ke ruang belakang konterr. Dia duduk dengan wajah serius, tapi matanya tetap penuh hasrat. “Ratih, kamu sudah sangat nurut. Aku bangga sama kamu,” katanya pelan.

Aku cuma tersenyum, menunduk. “Terima kasih, Pak.”

Dia mengambil tanganku, mengangkatnya ke bibirnya, dan mencium lembut. “Tapi ingat, aku ingin kamu tetap sehat. Aku gak mau kamu hamil. Aku cuma mau nikmatin kamu.”

Aku mengangguk. Kata-katanya itu seperti doa dan perintah sekaligus. Aku sudah siap menyerahkan semuanya.

Lalu hari itu, aku disuruh melayani seorang pelanggan setia lain, Pak Joko. Dia pria bertubuh kekar, dan sering membeli HP dengan jumlah banyak. Tapi malam itu, aku tidak hanya melayani dagangannya.

Pak Joko memandangi aku dengan nafsu. Dia membimbing tanganku menyentuh konternya yang sudah tegang. Aku mulai paham, ini bukan hanya soal aku dan Pak Arman, tapi tentang bagaimana aku harus jadi alat kenikmatan.

Aku duduk di pangkuannya, mulutku mulai melakukan nyusu kontol yang aku pelajari dengan Pak Arman. Suara desahan pelan keluar dari bibirku. Pak Joko tersenyum puas, dan aku merasa aneh—antara malu dan geli.

Setelah itu, Pak Arman datang, tersenyum dan membiarkan aku melanjutkan. Dia berkata, “Ini bisnis, Ratih. Kamu bagian penting. Tapi ingat, kamu harus jaga dirimu, jangan sampai ada kejadian yang bikin aku repot.”

Aku mengerti maksudnya. Aku harus taat dan menjaga diri, tapi tetap melayani dengan sepenuh hati.

Pak Arman semakin sering mengajakku berlatih posisi baru saat kami berdua di ruang belakang konterr. Dia ingin aku benar-benar menjadi miliknya, dan dia ingin aku tahu cara memuaskan dirinya dan pelanggannya tanpa risiko hamil.

Suatu malam, setelah konterr tutup, dia mengajakku duduk di kursi kayu besar. “Ratih, aku ingin kamu belajar posisi ini,” katanya sambil menunjukkan gerakan yang membuat aku sedikit gugup tapi penasaran.

Dia membimbing aku dengan sabar. Aku mulai belajar bagaimana mengatur tubuhku, bagaimana menyesuaikan gerak dan napasku sesuai arahan dia. Aku terbaring, dia masuk dari belakang dengan posisi yang dia sebut “anal”—posisi favoritnya yang membuat kami berdua dapat nikmat maksimal tanpa risiko.

Setiap dorongannya terasa dalam dan penuh tenaga, tapi dia selalu memperhatikan ekspresi wajahku, memastikan aku tidak kesakitan. “Kamu hebat, Ratih,” katanya. “Nikmati semua ini, jangan takut.”

Aku pelan-pelan membiarkan diriku larut. Desahanku semakin keras, napasku makin cepat. Tubuhku mulai gemetar, dan aku merasakan crott yang lagi-lagi membuatku lemas tapi puas.

Setelah itu, dia menggendong aku ke sofa, membersihkan tubuhku dengan lembut dan mengelus rambutku. “Kamu milikku, Ratih. Tapi aku gak mau kamu hamil. Jadi, jangan takut kalau aku panggil kamu kapan saja,” bisiknya.

Aku hanya bisa mengangguk, rasa puas dan ikatan yang semakin kuat antara kami membuat aku makin nurut.

🔞 Cerita ini belum selesai…
Jangan lupa simpan halaman ini biar kamu gak ketinggalan kelanjutannya.
📚 Temukan cerita panas lainnya di 👉 Cerita Dewasa Terbaru & Terpanas

Waktu terus berjalan, dan aku semakin tenggelam dalam dunia yang kubangun bersama Pak Arman. Aku bukan lagi gadis polos yang dulu—aku sudah jadi miliknya sepenuhnya.
Setiap malam aku menunggu perintahnya, siap untuk disusuin kontol, disuruh melayani pelanggan, atau hanya dipeluk hangat di ruang belakang.

Dia pernah bilang, “Ratih, kamu gak perlu takut. Aku gak mau kamu hamil. Aku cuma mau nikmatin kamu, punya kamu sepenuhnya.”

Dan aku percaya. Aku nurut. Aku pasrah. Aku sudah siap menjadi miliknya kapan saja, untuk apa saja.

Suatu malam, setelah konterr tutup, aku duduk di pangkuannya. Tangannya lembut membelai rambutku, bibirnya mencium pelipisku.
“Aku punya rencana lain untuk kamu, Ratih,” katanya pelan, “kamu akan jadi milikku bukan cuma di sini, tapi di mana pun aku mau.”

Aku menatap matanya, penuh janji dan ketundukan. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Aku siap. Aku memang sudah miliknya sepenuhnya.

Aku masih ingat betul hari itu, saat Pak Arman mengajakku naik mobil mewahnya bersama tiga pria lain—teman-temannya yang katanya pelanggan setia konterr. Mereka semua pria paruh baya, tubuh besar, bau parfum mahal, dan tatapan yang membuatku gemetar.

Kami sampai di sebuah hotel bintang lima yang megah. “Kamu gak akan keluar dari sini selama seminggu,” kata Pak Arman pelan tapi tegas. “Kamu cuma akan untuk kami nikmati, Ratih.”

Aku cuma bisa menelan ludah. Gak ada pilihan, cuma nurut.

Kamar hotel itu luas, tempat tidur king size empuk, dan segalanya terasa seperti penjara mewah. Aku tahu aku bukan tamu biasa—aku adalah barang milik mereka. Mereka bergiliran menguasai tubuhku siang dan malam, tanpa jeda.

Hari pertama, aku masih merasa kaku dan takut. Tapi semakin lama, aku mulai paham bagaimana cara menghadapi tangan-tangan kasar yang meraba memek-ku, bagaimana menyesuaikan napas dan suara desahan agar mereka puas.

Aku pelan-pelan mulai menyerah, membiarkan diriku dimiliki tanpa syarat.

Hari-hari di hotel itu berlalu tanpa henti. Aku hampir tak mengenali tubuhku sendiri. Setiap pagi, aku dibangunkan oleh sentuhan kasar tangan Pak Arman dan teman-temannya. Mereka bergiliran mengambilku, satu demi satu, tanpa ampun.

Aku yang dulu pemalu dan takut kini berubah menjadi sosok yang nurut total. Memek-ku selalu basah, tak pernah kering, karena terus-menerus mereka mainkan. Kadang aku dipaksa untuk melayani kontol mereka dengan mulutku, sementara yang lain menunggu giliran.

Malam hari, aku rebah lelah di ranjang besar, tapi itu tidak membuat mereka berhenti. Bahkan saat aku hampir tak mampu lagi, mereka tetap menguasai tubuhku, menembus hingga dalam dengan kekuatan yang membuatku gemetar.

Suara desahanku bercampur dengan suara gemuruh nafsu mereka. Aku mulai belajar menikmati, meski tubuhku terus meneriakkan sakit dan lelah.

Hari-hari berlalu, dan aku mulai merasa tubuhku bukan lagi milikku sendiri. Aku terjebak dalam lingkaran nafsu yang tak ada habisnya. Setiap pagi, tubuhku disentuh, memek ku selalu basah, dan mulutku terus dipakai untuk nyusu kontol mereka yang haus.

Mereka tak pernah lelah. Kadang aku dibuat terbaring dengan posisi yang membuatku gemetar. Tangan-tangan besar itu menyentuh dan menyusuri setiap inci kulitku. Aku cuma bisa menutup mata dan mendesah pelan, membiarkan semua berjalan.

Suatu kali, saat seorang dari mereka mulai memasukkan kontol dengan gerakan pelan tapi pasti, aku merasa campur aduk antara sakit dan nikmat. Aku menggigit bibir agar suara desah ku tidak terlalu keras. Aku tahu, aku harus nurut dan ikuti arahan mereka.

“Ayo, Ratih… jangan takut. Kamu bisa,” kata Pak Arman dengan suara lembut tapi penuh kendali.

Aku mengangguk, walau hati kecilku masih berontak. Tapi tubuhku sudah terlalu lelah untuk melawan. Aku membiarkan diriku larut dalam alunan nafsu mereka yang tak terbendung.

Seminggu di hotel itu membuat aku semakin tenggelam. Tubuhku makin sering dipaksa, disiksa dengan nikmat oleh Pak Arman dan teman-temannya. Kadang aku merasa hilang kendali, cuma bisa pasrah dan nurut.

Mereka punya cara baru setiap hari—posisi baru, sentuhan baru, dan bisikan yang bikin aku makin lemah. Kadang mereka suruh aku nyusu kontol dengan lebih cepat, kadang disuruh menahan sampai aku gemetar. Aku mulai kehilangan rasa malu, dan yang tersisa hanya suara desah dan napas berat.

Malam terakhir, mereka mengelilingiku di kamar, bergiliran membuat aku crott berkali-kali. Pak Arman berdiri di tengah, tersenyum penuh puas, sementara teman-temannya tertawa dan menikmati pertunjukan.

Aku rebah lemas, tapi di dalam, aku tahu aku makin jadi milik mereka. Bukan hanya tubuhku, tapi seluruh jiwa dan ragaku.

Hari terakhir di hotel itu datang dengan campuran lelah dan penyerahan total. Aku bukan lagi gadis polos yang dulu, tapi sudah menjadi milik Pak Arman dan teman-temannya sepenuhnya — tubuh dan jiwaku terikat dalam dunia nafsu yang tak pernah berhenti.

Pak Arman berdiri di sampingku, matanya penuh kepuasan. “Ratih, kamu sekarang milikku seutuhnya. Aku gak akan lepasin kamu, dan kamu gak perlu takut. Kamu milikku selama-lamanya.”

Aku hanya bisa mengangguk, air mata mengalir perlahan di pipiku. Aku sudah menyerah sepenuhnya, siap untuk dimiliki dan dinikmati kapan saja.

Malam itu, aku rebah di pelukannya, tubuhku lelah tapi hatiku tenang. Aku milik Pak Arman — sepenuhnya, untuk selama-lamanya.